Ayah! Dede kangen...
Orang-orang
sudah mulai meninggalkan pemakaman, tinggallah disana aku, kak Tania, Ibu dan
Om rano beserta istri. Ibu dari awal prosesi pemakaman hanya diam dan
mengusap-usap baju kesayangan ayah yang dibawa ibu sedari tadi. Kak Tania juga
sudah agak lebih tenang. Kami beranjak pergi dari pemakaman.
malam
ini adalah malam pertama kita tanpa kehadiran ayah ya de, ucap
kak Tania yang matanya masih sembab.
Iya
kak, kapan ya kita bisa ketemu ayah lagi kak?
Kak
Tania hanya diam tak menjawab pertanyaanku. Aku dan kak Tania kali ini tidur
bertiga dikamar ibu. Ibu masih saja diam tak berucap sepatahpun kepadaku
ataupun kak Tania. Aku sempat tidak bisa tidur karena memikirkan keadaan ayah
di pemakaman sendirian.
Esok
hari tiba. Aku dan kak Tania tidak masuk sekolah, karena anjuran Om Rano untuk
menemani Ibu yang masih sangat sedih kehilangan ayah. Aku juga terasa sangat
malas bersekolah, aku tak bersemangat. Aku tak doyan makan sampai kak Tania
yang tidak pernah menyuapiku mencoba untuk menyuapi. Tetapi aku tetap tidak mau
makan. Aku hanya sering diam duduk di ruang tamu dikursi yang biasanya ayah
duduki.
Dede,
kamu jangan sedih terus ya, kan masih ada kak Tania sama Ibu, dede makan dulu
ya. Ntar kalo gak makan dede bisa sakit. Ntar ayah ngeliatnya sedih tau. Bujuk
kak Tania yang berusaha menyuapiku untuk makan.
Bujukan
kak Tania sedikit berhasil, aku mau makan walaupun cuma dua-tiga suap. Kak
Tania memang terlihat lebih tegar dibandingkan aku dan ibu. Ibu sampai sekarang
belum mau keluar kamar. Terkadang masih menangis sambil mengusap dan mencium
barang-barang ayah.
Hari
demi hari berlalu. Aku sudah mulai sekolah seperti biasa begitu pula dengan kak
Tania. Ibu juga sudah mulai terbiasa dengan keadaan sekarang. Sampai di sekolah
teman-teman masih melihat ku prihatin dan sesekali mengucapkan belasungkawanya.
Seperti biasa Nur menyambutku dengan keramahannya. Terkadang dia menghiburku
dengan candaan ringannya. Namun tak sedikitpun membuatku tertawa, aku hanya
memaksakan untuk sedikit menyunggingkan bibirku. Aku hanya diam dan tidak bisa
fokus mendengarkan pelajaran. Tema-temanku masih terkaget-kaget yang melihatku
seperti ini. Adi yang suka lari sana-sini, suka jail dan suka melontarkan
beberapa pertanyaan kepada guru, sekarang hanya terdiam lesu tak bersemangat.
Aku
masih sedih mengingat kejadian sebelumnya. Biasanya sebelum berangkat sekolah aku
selalu mencium tangan ayah dan ibu. Tapi sekarang aku hanya mencium tangan ibu.
Tidak ada ayah. Sesekali Nur menasihatiku namun aku masih tetap tak
mempedulikan.
Beberapa
hari lagi aku akan ulangan umum kenaikan kelas, sedangkan kak Tania akan
menghadapi ujian akhir kelulusannya. Aku tak se semangat dulu ketika menyambut
ulangan umum. Aku kurang antusias untuk belajar. Kak Tania sekarang tempat
bertanyaku ketika ada pelajaran yang kurang aku mengerti. Padahal dulu aku tak
pernah mempercayai jawaban kak Tania. Aku selalu bertanya kepada ayah, meskipun
aku tahu terkadang ayah juga menanyakan ke kak Tania.
Nilai-nilaiku
merosot tajam, aku mendapat peringkat ke 7 di kelas, kalah dengan Nur apalagi
dengan Gea. Sedangkan kak Tania seperti biasa menjadi juara umum dan mendapat
nilai tertinggi dari hasil kelulusan di sekolahnya. Kak Tania mendapat tawaran
beasiswa full di Jepang karena prestasinya yang membanggakan. Sejak kelas dua
kak Tania memang sudah menyiapkan amunisi untuk melengkapi berkas dan mengikuti
serentetan test untuk mendapatkan beasiswa itu. Kak Tania sangat bahagia begitu
pula ibuku. Namun kak Tania masih bingung mau ambil beasiswa tersebut dan
meninggalkan aku dan ibuku dirumah atau hanya mau berkuliah di dekat-dekat
rumah dan tetap tinggal bersama aku dan ibu. Kak Tania sadar dia adalah anak
paling besar, yang harus ngejagain ibu dan dede nya. Namun ibu bersikeras
membujuk kak Tania untuk mengambil beasiswa tersebut. Karena ini juga salah
satu impian Ayah dahulu semasa hidup agar anaknya kelak bisa menempuh
pendidikan yang bagus di negeri orang.
Berbeda
dengan kak Tania, aku tidak bisa dibanggakan karena nilaiku merosot drastis.
Namun ibu dan kak Tania tidak memarahiku atau kecewa padaku. Mereka masih
mengerti kenapa bisa nilaiku merosot tajam. Hal ini membuatku semakin rindu
akan wejangan-wejangan ayah ketika aku mengalami kegagalan seperti ini.
Ayah!
Dede kangen ayah, kapan dede bisa bertemu ayah lagi. Dede mau belajar sama ayah
lagi biar nilai dede bisa bagus lagi.
Malam
hari ketika aku tidur, aku bermimpi ayah mendatangiku dan memelukku erat.
Ayah
kemana saja? Dede rindu sama ayah. Kenapa ayah baru datang? Ayah gak marah kan
nilai dede jadi jelek? Ayah hanya diam dan tersenyum
kepadaku.
Kenapa
ayah diam saja? Ayah marah ya sama dede? Maafkan dede ya yah.
Tak
sepatah katapun terucap dari mulut pucatnya. Hanya senyuman lebar yang ayah
perlihatkan padaku. Ayah beranjak pergi meninggalkanku, semakin jauh semakin
jauh dan semakin tidak terlihat.
Keesokan
harinya aku menceritakan semuanya kepada kak Tania dan Ibu. Ibu tersenyum.
Dede
itu tandanya ayah bangga sama dede. Makanya dede harus makin giat belajar biar
nilainya gak jelek lagi. Biar nanti bisa sekolah keluar negeri kaya kak Tania.
Kan kalo nilai dede bagus ayah pasti lebih bangga sama dede. Ayah disana bakal
nungguin dede. Jadi dede harus bisa ceria lagi dan belajar giat lagi ya! Kalo
dede jadi anak pintar dan kuat kan bisa ngejagain ibu sama kak Tania.
Aku hanya manggut-manggut mengiyakan kata-kata ibu.
Iya
de, dede kan anak laki-laki, jadi harus bisa jagain ibu dan kakak perempuannya.
Tambah
kak Tania yang ramah.
Aku
sadar aku memang masih kecil, namun benar kata ibu dan kak Tania, aku anak
laki-laki harus kuat biar bisa jagain ibu dan kak Tania. Aku harus bisa membuat
nilaiku bagus lagi biar ayah nanti mau bicara padaku lagi.
Kak
Tania semakin mantap untuk mengambil beasiswa belajarnya ke Jepang setelah
melihat perubahan ku yang semakin ceria. Dan perubahan ibu yang semakin bisa
terbiasa tanpa kehadiran ayah. Kak Tania pergi kesana-kemari untuk menyiapkan
segala sesuatu yang dibutuhkan untuk keberangkatannya nanti. Masih tersisa
sebulan lagi untuk kak Tania meninggalkan dede dan ibu. Kak Tania lebih banyak
menghabiskan waktu dirumah bersama ibu. Sedangkan aku berangkat kesekolah
seperti biasa. Sekarang aku sudah kelas 3 SMP, sedangkan kak Tania sudah akan
memasuki bangku kuliah di Jepang. 2 minggu sebelum keberangkatan kak Tania,
kami bertiga berkunjung ke makam ayah. Ritual ini biasa kami lakukan setiap
sebulan sekali untuk sekadar ngobrol sama ayah dan melepas kerinduan. Disana
kami menceritakan semua yang terjadi kepada ayah. Tak lupa kak Tania meminta
doa restu ayah untuk berangkat sekolah ke Jepang. Kak Tania juga memamerkan
paspor barunya.
Sedangkan
ibu selalu menceritakan kebanggaanya memiliki anak-anak seperti kami di hadapan
pusara ayah. Ibu kadang masih menitihkan air mata, bernostalgia kejadian
masa-masa ketika ayah masih ada disamping kami. Setelah puas kami bercerita,
kami beranjak meninggalkan pusara ayah dengan mencium nama ayah yang tertulis
dibatu nisan, serta menaburkan bunga mawar diatas pusara ayah.
>><<