Sabtu, 07 Februari 2015

My Family and My Best Friends Part 3



Ayah! Dede kangen...
Orang-orang sudah mulai meninggalkan pemakaman, tinggallah disana aku, kak Tania, Ibu dan Om rano beserta istri. Ibu dari awal prosesi pemakaman hanya diam dan mengusap-usap baju kesayangan ayah yang dibawa ibu sedari tadi. Kak Tania juga sudah agak lebih tenang. Kami beranjak pergi dari pemakaman.
malam ini adalah malam pertama kita tanpa kehadiran ayah ya de, ucap kak Tania yang matanya masih sembab.
Iya kak, kapan ya kita bisa ketemu ayah lagi kak?
Kak Tania hanya diam tak menjawab pertanyaanku. Aku dan kak Tania kali ini tidur bertiga dikamar ibu. Ibu masih saja diam tak berucap sepatahpun kepadaku ataupun kak Tania. Aku sempat tidak bisa tidur karena memikirkan keadaan ayah di pemakaman sendirian.
Esok hari tiba. Aku dan kak Tania tidak masuk sekolah, karena anjuran Om Rano untuk menemani Ibu yang masih sangat sedih kehilangan ayah. Aku juga terasa sangat malas bersekolah, aku tak bersemangat. Aku tak doyan makan sampai kak Tania yang tidak pernah menyuapiku mencoba untuk menyuapi. Tetapi aku tetap tidak mau makan. Aku hanya sering diam duduk di ruang tamu dikursi yang biasanya ayah duduki.
Dede, kamu jangan sedih terus ya, kan masih ada kak Tania sama Ibu, dede makan dulu ya. Ntar kalo gak makan dede bisa sakit. Ntar ayah ngeliatnya sedih tau. Bujuk kak Tania yang berusaha menyuapiku untuk makan.
Bujukan kak Tania sedikit berhasil, aku mau makan walaupun cuma dua-tiga suap. Kak Tania memang terlihat lebih tegar dibandingkan aku dan ibu. Ibu sampai sekarang belum mau keluar kamar. Terkadang masih menangis sambil mengusap dan mencium barang-barang ayah.
Hari demi hari berlalu. Aku sudah mulai sekolah seperti biasa begitu pula dengan kak Tania. Ibu juga sudah mulai terbiasa dengan keadaan sekarang. Sampai di sekolah teman-teman masih melihat ku prihatin dan sesekali mengucapkan belasungkawanya. Seperti biasa Nur menyambutku dengan keramahannya. Terkadang dia menghiburku dengan candaan ringannya. Namun tak sedikitpun membuatku tertawa, aku hanya memaksakan untuk sedikit menyunggingkan bibirku. Aku hanya diam dan tidak bisa fokus mendengarkan pelajaran. Tema-temanku masih terkaget-kaget yang melihatku seperti ini. Adi yang suka lari sana-sini, suka jail dan suka melontarkan beberapa pertanyaan kepada guru, sekarang hanya terdiam lesu tak bersemangat.
Aku masih sedih mengingat kejadian sebelumnya. Biasanya sebelum berangkat sekolah aku selalu mencium tangan ayah dan ibu. Tapi sekarang aku hanya mencium tangan ibu. Tidak ada ayah. Sesekali Nur menasihatiku namun aku masih tetap tak mempedulikan.
Beberapa hari lagi aku akan ulangan umum kenaikan kelas, sedangkan kak Tania akan menghadapi ujian akhir kelulusannya. Aku tak se semangat dulu ketika menyambut ulangan umum. Aku kurang antusias untuk belajar. Kak Tania sekarang tempat bertanyaku ketika ada pelajaran yang kurang aku mengerti. Padahal dulu aku tak pernah mempercayai jawaban kak Tania. Aku selalu bertanya kepada ayah, meskipun aku tahu terkadang ayah juga menanyakan ke kak Tania.
Nilai-nilaiku merosot tajam, aku mendapat peringkat ke 7 di kelas, kalah dengan Nur apalagi dengan Gea. Sedangkan kak Tania seperti biasa menjadi juara umum dan mendapat nilai tertinggi dari hasil kelulusan di sekolahnya. Kak Tania mendapat tawaran beasiswa full di Jepang karena prestasinya yang membanggakan. Sejak kelas dua kak Tania memang sudah menyiapkan amunisi untuk melengkapi berkas dan mengikuti serentetan test untuk mendapatkan beasiswa itu. Kak Tania sangat bahagia begitu pula ibuku. Namun kak Tania masih bingung mau ambil beasiswa tersebut dan meninggalkan aku dan ibuku dirumah atau hanya mau berkuliah di dekat-dekat rumah dan tetap tinggal bersama aku dan ibu. Kak Tania sadar dia adalah anak paling besar, yang harus ngejagain ibu dan dede nya. Namun ibu bersikeras membujuk kak Tania untuk mengambil beasiswa tersebut. Karena ini juga salah satu impian Ayah dahulu semasa hidup agar anaknya kelak bisa menempuh pendidikan yang bagus di negeri orang.
Berbeda dengan kak Tania, aku tidak bisa dibanggakan karena nilaiku merosot drastis. Namun ibu dan kak Tania tidak memarahiku atau kecewa padaku. Mereka masih mengerti kenapa bisa nilaiku merosot tajam. Hal ini membuatku semakin rindu akan wejangan-wejangan ayah ketika aku mengalami kegagalan seperti ini.
Ayah! Dede kangen ayah, kapan dede bisa bertemu ayah lagi. Dede mau belajar sama ayah lagi biar nilai dede bisa bagus lagi.
Malam hari ketika aku tidur, aku bermimpi ayah mendatangiku dan memelukku erat.
Ayah kemana saja? Dede rindu sama ayah. Kenapa ayah baru datang? Ayah gak marah kan nilai dede jadi jelek? Ayah hanya diam dan tersenyum kepadaku.
Kenapa ayah diam saja? Ayah marah ya sama dede? Maafkan dede ya yah.
Tak sepatah katapun terucap dari mulut pucatnya. Hanya senyuman lebar yang ayah perlihatkan padaku. Ayah beranjak pergi meninggalkanku, semakin jauh semakin jauh dan semakin tidak terlihat.
Keesokan harinya aku menceritakan semuanya kepada kak Tania dan Ibu. Ibu tersenyum.
Dede itu tandanya ayah bangga sama dede. Makanya dede harus makin giat belajar biar nilainya gak jelek lagi. Biar nanti bisa sekolah keluar negeri kaya kak Tania. Kan kalo nilai dede bagus ayah pasti lebih bangga sama dede. Ayah disana bakal nungguin dede. Jadi dede harus bisa ceria lagi dan belajar giat lagi ya! Kalo dede jadi anak pintar dan kuat kan bisa ngejagain ibu sama kak Tania. Aku hanya manggut-manggut mengiyakan kata-kata ibu.
Iya de, dede kan anak laki-laki, jadi harus bisa jagain ibu dan kakak perempuannya. Tambah kak Tania yang ramah.
Aku sadar aku memang masih kecil, namun benar kata ibu dan kak Tania, aku anak laki-laki harus kuat biar bisa jagain ibu dan kak Tania. Aku harus bisa membuat nilaiku bagus lagi biar ayah nanti mau bicara padaku lagi.
Kak Tania semakin mantap untuk mengambil beasiswa belajarnya ke Jepang setelah melihat perubahan ku yang semakin ceria. Dan perubahan ibu yang semakin bisa terbiasa tanpa kehadiran ayah. Kak Tania pergi kesana-kemari untuk menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk keberangkatannya nanti. Masih tersisa sebulan lagi untuk kak Tania meninggalkan dede dan ibu. Kak Tania lebih banyak menghabiskan waktu dirumah bersama ibu. Sedangkan aku berangkat kesekolah seperti biasa. Sekarang aku sudah kelas 3 SMP, sedangkan kak Tania sudah akan memasuki bangku kuliah di Jepang. 2 minggu sebelum keberangkatan kak Tania, kami bertiga berkunjung ke makam ayah. Ritual ini biasa kami lakukan setiap sebulan sekali untuk sekadar ngobrol sama ayah dan melepas kerinduan. Disana kami menceritakan semua yang terjadi kepada ayah. Tak lupa kak Tania meminta doa restu ayah untuk berangkat sekolah ke Jepang. Kak Tania juga memamerkan paspor barunya.
Sedangkan ibu selalu menceritakan kebanggaanya memiliki anak-anak seperti kami di hadapan pusara ayah. Ibu kadang masih menitihkan air mata, bernostalgia kejadian masa-masa ketika ayah masih ada disamping kami. Setelah puas kami bercerita, kami beranjak meninggalkan pusara ayah dengan mencium nama ayah yang tertulis dibatu nisan, serta menaburkan bunga mawar diatas pusara ayah.
>><< 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar