Tiga
hari setelah aku dinyatakan lulus, aku pulang kerumahku dengan membawa gelar
sarjana. Ya, aku tidak langsung pulang kerumah setelah dinyatakan lulus, karena
harus mengurus berkas-berkas yang harus dilengkapi untuk mendapatkan surat
keterangan lulus. Ketika sampai rumah, keluarga ku telah menungguku diruang
keluarga yang berada tepat ditengah-tengah rumahku yang berhiaskan tv 14 inch,
ranjang dari anyaman bambu, dan karpet hijau yang membentang dilantai ruangan
itu. Ternyata orang tuaku mengundang seluruh keluarga besarku untuk menyambut
ku. Semua kakakku, ponakan, pakdhe, budhe, om, tante, satu-satunya nenekku dan
sepupu-sepupu ku semua ada disitu, meski ada satu dua orang yang tak bisa
hadir. Ketika kami berkumpul, ibu dan bapakku memulai pembicaraan seperti
memberikan sambutan-sambutan dan ucapan terimakasih. Aku sangat terharu ketika
ayah dan ibuku mengucapkan selamat kepadaku, ketika semua keluargaku
menyempatkan waktunya hanya untuk merayakan kelulusanku. Senang sekali rasanya
ketika baru menyadari bahwa mereka sangat menyayangi ku.
Selama
kuliah 3 tahun 9 bulan di Undip Semarang aku akui keluargaku memang jarang
menghubungiku, entah sekadar menanyakan kabar ku, kesehatanku dan apapun itu.
Memang aku terkadang sangat merasa iri hati sama teman-temanku ketika mereka
selalu ditelpon orang tuanya, bercandaan lewat telepon. Sering kali aku merasa
kenapa keluargaku tidak pernah memperhatikanku, tak menyayangiku. Namun
lagi-lagi anggapan aku itu salah besar, mereka tidak jarang menghubungi karena
mereka mau aku konsentrasi dengan belajarku, tidak terganggu dengan kondisi
dirumah. Karena mereka memang tau watakku yang sangat khawatiran dan tidak bisa
berdiam diri ketika ada salah satu orang terdekatku mengalami masalah. Dan kini
anggapan ku itu lagi-lagi ditepis dengan kehadiran dan penyambutan dihari
kelulusanku.
Dihari
berkumpulnya keluargaku, tante ku menanyakan “ kamu mau kuliah lagi apa mau
kerja dulu le?” (le adalah panggilan anak lelaki di jawa) ucapnya dengan nada
yang lembut. “ wah tan aku mau kerja aja, udah bosan dengan materi
pelajaran,hehe” jawabku spontan sambil meringis. Hari itu pun berlalu, namun
pertanyaan yang sama terlontar kembali, bukan dari tanteku, namun dari bapak
dan ibuku yang saat itu kami sedang ngobrol-ngobrol ringan sambil menonton
televisi. “Le, kamu mau kuliah lagi apa mau kerja dulu? Kalo mau kuliah lagi
mumpung bapak dan ibumu masih sanggup buat biayaain kamu”. Ucap ayahku kepada
anak bungsunya ini. Aku tidak langsung menjawab begitu saja, aku termenung
sejenak sambil menoleh ke ibuku. “lah terserah kamu to le, kan kamu yang bakal
menjalani, ibu dan bapak cuma bisa dukung kamu aja” ucap ibuku yang langsung
mengerti maksudku menoleh kepada beliau. Aku kembali termenung, aku belum bisa
menjawab pertanyaan itu dengan pasti. Kemudian obrolan itu dilanjutkan lagi
dengan obrolan-obrolan kecil seperti kebiasaan kami bertiga dirumah. Dirumah
kami memang hanya tinggal bertiga, kedua kakakku telah menikah dan nenek dan
kakek yang dulu tinggal dirumah itu telah ditempat yang indah yang bisa
memperhatikan cucunya dari atas sana.
Hari
demi hari aku selalu memikirkannya, sampai aku kembali kekampus untuk mengurus
segala tetek bengek administrasi kampus pun masih terpikirkan dengan pertanyaan
itu. Aku tak henti berdoa dan minta petunjuk dari Sang pencipta Allah SWT.
Akhirnya akupun mencoba ikut teman-temanku melamar pekerjaan yang saat itu test
nya diadakan dikampus kami. Tidak hanya satu tapi beberapa perusahaan telah aku
masukkan lamaranku. Hari demi hari aku mulai menyukai aktivitas ini. Kemudian
disaat aku pulang kembali kerumah aku dengan percaya diri bilang ke orang tuaku
aku ingin kerja, dan saat ini aku telah dipanggil untuk interview dengan user
dan direksi disebuah perusahaan di Bandung. Orang tuaku sangat setuju dan
mendukungku, tanpa ragu-ragu bapakku pun langsung memberikanku uang untuk
membeli tiket kereta api. Aku semakin semangat dan berjuang agar orang tuaku
bisa tersenyum karena aku bisa meraih sesuatu.
Satu
hari sebelum interview aku berangkat ke Bandung dengan ditemani sahabatku
Sasongko dari fakultas ekonomi Undip. Kami berdua berangkat naik travel, ya
karena aku telah kehabisan tiket kereta api. Kami sampai di Bandung tengah
malam, langsung kami di berhentikan disuatu hotel dekat dengan perusahaan itu.
Kami berdua sama-sama tidak tahu daerah itu. Kami pun harus bertanya-tanya
kepada setiap orang yang kami jumpai untuk menunjukkan arah yang kami tuju. Aku
sangat gugup namun bersemangat, karena ini pengalaman pertamaku wawancara
kerja. Sesampainya diperusahaan, seakan rasa semangat yang tadinya menggelegar hilang
begitu saja, rasa guguppun juga sirna begitu saja. Yang ada hanyalah rasa ingin
cepat menyelesaikan ini dan terus pulang kembali kerumah. Perasaan itu muncul
karena perusahaan yang aku tuju tidak sesuai dengan ekspektasiku. Dalam sesi
wawancara aku tetap memberikan yang terbaik meski dalam hati tidak menaruh
harapan bisa diterima diperusahaan itu. Semua itu kulakukan karena orang tuaku
telah susah payah memberikanku uang hanya untuk pergi mengikuti wawancara itu.
Akhirnya
hari demi hari pun berlalu, perusahaan itu tak juga menghubungiku. Yah pasti
aku ditolak! Dalam hatiku berkata. Semakin aku tertantang untu melamar
pekerjaan, bahkan didalam laptopku telah terkumpul lamaran sebanyak 22 berkas
lamaran untuk perusahaan yang berbeda-beda. Hari demi hari aku isi dengan lamar
sini lamar situ, tak jarang pula aku harus wawancara keluar kota, misalnya
Bekasi, Jogjakarta, Surakarta, dan Jakarta. Tak jarang juga aku gagal test dan
ditolak. Namun aku tak patas semangat hanya karena itu, aku harus
mempertanggungjawabkan pilihanku untuk bekerja. Disuatu sore ketika aku sedang
asyik ngobrol dengan sahabatku dikamar kostku, aku ditelepon oleh sebuah
perusahaan kertas di Serang Banten. Bahwa aku keterima disana dan diminta
menandatangain kontrak kerja kekantor pusat di Tangerang. Mendengar berita itu
tentu saja aku kegirangan, sahabatku pun ikut
bahagia. Aku tak langsung meng-iyakan tawaran itu, tentu saja aku harus
minta persetujuan orang tuaku. Karena tanpa restu dari mereka aku tak akan
melakukannya. Tak lupa juga aku solat Istigharah untuk minta petunjuk dari
Allah SWT.
Hari
untuk konfirmasi keperusahaan pun makin dekat, orang tua mendukung apapun
keputusan yang aku ambil. Namun beliau selalu berpesan, aku harus hati-hati dan
memikirkan matang-matang apapun yang aku ambil. Diwaktu yang bersamaan aku juga
sedang menunggu konfirmasi dari perusahaan yang lain. Karena tak kunjung ada
konfirmasi, akupun meng-iyakan tawaran kerja di Serang. Tentunya dengan
dukungan dari orang tua dan kemantapan hati setelah solat istigharah. Namun
rasa sedih pun menghampiri dalam dada, karena harus melewati bulan puasa
ditempat kerja. Ya...setiap keputusan pasti ada resikonya, aku yakin bisa
karena keluargaku nggak pernah meninggalkanku. Meskipun berada jauh disana, aku
selalu merasa dekat karena mereka selalu dalam hatiku, selalu mengkhawatirkan
keadaanku, dan sesekali meneleponku untuk berbicang-bincang denganku.
Keluargaku
adalah hartaku paling berharga, tak akan tergantikan oleh siapapun, aku sangat
menyayangi dan mencintai mereka.
Ingat...
Allah selalu mempunyai rencana yang indah dibalik cobaan yang diberikan kepada
kita. Allah memang tidak selalu memberikan apa yang kita inginkan, tetapi Dia
selalu memberikan apa yang kita butuhkan.