Kepergiannya..
Angin
malam semakin liar menusuk-nusuk kulitku. Aku beranjak bangun dan menoleh
ketempat pakaian-pakaian dijemur. Mereka melambai-lambai karena hembusan angin
malam ini yang cukup untuk menerbangkan pakaian-pakaian itu. Namun angin itu
tak sedikitpun membuatku untuk beranjak pergi dari tempat itu. Aku semakin terlelap
menatap bintang-bintang malam dari lantai tiga gedung itu. Indah, itu yang aku
rasakan kali ini. Mereka berkedip-kedip riang seakan memberi tanda kepadaku
kalau mereka senang jika aku melihatnya. Mereka seakan mangajakku melupakan
kenangan buruk masa lalu untuk tetap melangkah maju dengan ketegaran. Tentu saja
itu hanyalah imajinasiku terhadap kedipan mereka kepadaku, aku selalu
menerka-nerka apa yang mereka pikirkan terhadapku. Terhadap laki-laki yang
hampir setiap malam menatap mereka dari kejauhan. Apakah mereka kasihan,
takjub, ataukan malah menertawakanku? Ahh, entahlah aku tak perduli. Yang aku
perdulikan mereka tetap setia disana menungguku untuk memperhatikan mereka,
memperhatikan keindahan dan kecantikan mereka.
Perlahan
tapi pasti, aku akan mengingat semua kenangan itu. Kenangan yang menyedihkan,
yang membuat semuanya berubah total. Kenangan yang membuatku berubah dimata
teman-teman dan keluargaku.
Ketika
itu aku semester genap kelas 2 SMP dan kak Tania kelas 3 SMA. Seperti biasa aku
menghabiskan waktu istirahatku diperpustakaan bersama Nur sahabatku. Ketika itu
aku dipanggil salah seorang temanku dengan nafas terengah-engah karena berlari
kesana kemari mencariku. Adi! Panggilnya dengan nafas tersendat-sendat. Kenapa
Ron kau Memanggilku? Jawabku sedikit kebingungan. Aku disuruh Pak Amir
untuk memangggilmu karena ada saudaramu datang mau menjemputmu. Pak Amir
adalah guru wali kelasku. Aku semakin bingung dan takut, apakah aku melakukan
kesalahan besar sampai pak Amir memanggilku. Namun kenapa ada saudaraku segala?
Ucapku dalam hati. Ok Ron, aku akan kesana, makasih ya, sudah
memberitahukanku. Kataku sambil bergegas pergi meninggalkan Roni dan Nur
diperpustakaan. Dalam perjalanan menuju ke kantor pak Amir aku selalu berfikir
macam-macam. Badanku berkeringat dan sedikit gemetar.
Setelah
sekitar 5 menit berjalan aku sampai dikantor pak Amir wali kelasku. Aku
mengetuk pintu, Asssalamualaikum Pak Amir, kataku dengan sedikit
gemetar. Disana aku melihat Om Rano sedang berbincang dengan Pak Amir. Walaikumsalam
Adi, kemarilah nak. Pak Amir menjawabku dengan gayanya yang kalem dan
tenang. Kemudian Pak Amir langsung memberitahukanku kalau saudaraku menjemputku
untuk segera pulang karena ada acara keluarga yang sangat penting. Aku semakin
bingung gak karuan, apa yang terjadi? Sepertinya tadi waktu berangkat sekolah
orang tuaku sama sekali tidak memberitahukanku ataupun kakakku kalau ada acara
keluarga. Aku langsung beranjak pergi kekelas mengambil tas, dan pergi bersama
Om Rano meninggalkan sekolah menuju kerumah. Namun aku semakin bingung, ini
bukanlah jalan kembali kerumah melainkan ke sekolah kak Tania. Aku bertanya
kepada Om Rano, Om kita juga mau menjemput kak Tania? Iya Di, jawab Om
Rano seadanya. Aku tak banyak bicara maupun bertanya kepada Om Rano. Aku hanya
diam mendekap punggung Om Rano di sepeda motor yang kami tumpangi.
Setelah
20 menit lamanya, kita sampai di sekolah kak Tania, Om Rano menyuruhku untuk
menunggu di didekat motornya yang diparkir diparkiran sekolah kak tania.
Beberapa menit aku menunggu mereka keluar dari gedung sekolah yang mewah dan
besar itu. Yap! kak Tania mendapatkan beasiswa di sekolah SMA terbaik dan
terfavorit di kotaku. Kemudian kami bertiga bergegas pergi dengan mengendarai
dua motor berbeda, aku bersama Om Rano, sedangkan kak Tania mengendarai
motornya sendiri. Memasuki perkampungan tempatku tinggal disana terlihat ramai
orang yang berjalan searah dengan jalan kami. Aku semakin bingung, semakin
bingung ketika mendekati rumahku karena banyak orang yang berbelok kerumahku.
Namun berbeda dengan kak Tania, Dia spontan menghentikan motornya dan berlari
menuju rumah dengan air mata sudah mengucur dimukanya. Aku semakin bingung
tidak tahu apa-apa. Om Rano kemudian menggenggam tanganku menuju kedalam rumah.
Sebelum sampai kedalam rumah aku mendengar jeritan tangis ibuku dan kak Tania.
Ada apa ini, apa yang terjadi, aku buru-buru melepaskan genggaman Om Rano dan
berlari menuju ke rumah.
Aku
melihat seseorang dibaringkan di lantai ruang tamu di rumahku dengan ditutup
dengan kain batik seluruh tubuhnya. Aku juga melihat ibu dan kakakku tak henti
menangis. Sesekali ibuku tak sadarkan diri. Aku belum tahu pasti apa yang
terjadi. Namun entah kenapa air mataku menetes dengan derasnya melihat semua
kejadian ini. Om Rano memelukku, berbisik ayah sudah gak ada, ayah sudah
meninggal, meninggalkan kita semua. Aku lemas seketika mendengar bisikan
itu. Aku melepaskan pelukannya, tertunduk lesu dilantai sambil menangis. Aku
mendekati ibu dan kak Tania. Aku memeluk mereka, aku ikut menangis bersama
mereka. Kak Tania mendekati Tubuh ayah yang sedang terbaring, aku mengikutinya.
Dia membuka kain batik itu, aku melihat wajah ayahku yang pucat, mata tertutup.
Aku memanggilnya lirih, ayah ayah! kenapa kau tidur, disini banyak orang
yang memperhatikan ayah. Kak Tania semakin melepaskan jeritan tangisnya, akupun
tak kuasa membendung air mataku. Ibu mendekat dan memeluk kami, sayang, ayah
sekarang sudah meninggalkan kita, lirih ibu dalam pelukan kami.
Aku
masih terdiam sedih didekat jenasah ayah yang terbaring dilantai, aku tidak mau
beranjak dari dekatnya, sesekali Om Rano mengajakku untuk berganti pakaian.
Namun aku menolak, khas dengan gaya anak-anak sedang merajuk. Kak Tania juga
tidak mau beranjak, dia hanya diberi kain oleh salah seorang tetangga, kain
hitam sebagai kerudung untuk menutupi kepalanya. Aku tak pernah merasa sesedih
ini selama hidupku. Jeritan tangisku semakin pecah ketika ayahku hendak
dibungkus dengan kain putih. Aku menahan mereka tak membiarkan mereka
membungkus ayahku dengan kain itu. Namun Om Rano memelukku dan menjauhkanku
dari mereka yang hendak membungkus tubuh ayahku. Aku semakin marah seketika
benci dengan Om Rano karena menghalangiku. Aku melihat Pak Amir bersama
rombongan teman-teman sekelasku datang kerumahku. Aku juga melihat Nur yang
langsung mendekatiku dan memelukku sambil terisak. Dia kenal dekat dengan
ayahku, pantas saja dia juga merasa kehilangan. Dia tak berkata apa-apa hanya
memelukku sambil menangis.
Beberapa
orang memberikan sambutan di hari itu, namun aku sama sekali tidak
mempedulikannya, aku hanya terdiam lemas di dekat peti ayahku. Ya ayahku sudah
dimasukkan kedalam peti dan siap diangkat menuju ke pemakaman. Aku memanglah
masih anak-anak. Namun aku tahu betul apa itu mati, siapa yang mati waktu itu
dan bagaimana rasanya aku ditinggal mati oleh orang itu. Bersama ibu, kak
Tania, Nur dan beberapa saudaraku. Kami duduk didekat peti ayah, sesekali aku
melihat ibuku masih tak sadarkan diri. Kak Tania masih menangis bersama
beberapa saudaraku yang lainnya. Aku hanya terdiam didekat Nur, aku sudah tidak
bisa menangis, aku terlalu lemas untuk menangis.
Beberapa
saat kemudian peti ayahku diangkat untuk dibawa menuju ke pemakaman disamping
kampungku. Dekat, karena itu hanya berjalan kaki dan tidak perlu menggunakan ambulance.
Sampai dipemakaman, ayahku langsung dimasukkan ke dalam liang yang sudah digali
sejak pagi, aku kembali terisak tak rela ayahku dimasukkan kesana. Aku
berontak, namun tak seorangpun sependapat denganku. Mereka tetap kekeh
memasukkan ayahku kedalam liang itu. Aku
menangis dan menjerit, tertunduk ditanah pemakaman, khas dengan gaya anak kecil
yang sedang merajuk.
Kak
Tania mendekapku erat, seakan membisikkan masih ada kak Tania yang selalu
jagain dede, dede jangan sedih lagi ya.
>><<
Tidak ada komentar:
Posting Komentar