Sabtu, 29 November 2014

My Family and My Best Friends Part 2

Kepergiannya..
Angin malam semakin liar menusuk-nusuk kulitku. Aku beranjak bangun dan menoleh ketempat pakaian-pakaian dijemur. Mereka melambai-lambai karena hembusan angin malam ini yang cukup untuk menerbangkan pakaian-pakaian itu. Namun angin itu tak sedikitpun membuatku untuk beranjak pergi dari tempat itu. Aku semakin terlelap menatap bintang-bintang malam dari lantai tiga gedung itu. Indah, itu yang aku rasakan kali ini. Mereka berkedip-kedip riang seakan memberi tanda kepadaku kalau mereka senang jika aku melihatnya. Mereka seakan mangajakku melupakan kenangan buruk masa lalu untuk tetap melangkah maju dengan ketegaran. Tentu saja itu hanyalah imajinasiku terhadap kedipan mereka kepadaku, aku selalu menerka-nerka apa yang mereka pikirkan terhadapku. Terhadap laki-laki yang hampir setiap malam menatap mereka dari kejauhan. Apakah mereka kasihan, takjub, ataukan malah menertawakanku? Ahh, entahlah aku tak perduli. Yang aku perdulikan mereka tetap setia disana menungguku untuk memperhatikan mereka, memperhatikan keindahan dan kecantikan mereka.
Perlahan tapi pasti, aku akan mengingat semua kenangan itu. Kenangan yang menyedihkan, yang membuat semuanya berubah total. Kenangan yang membuatku berubah dimata teman-teman dan keluargaku.
Ketika itu aku semester genap kelas 2 SMP dan kak Tania kelas 3 SMA. Seperti biasa aku menghabiskan waktu istirahatku diperpustakaan bersama Nur sahabatku. Ketika itu aku dipanggil salah seorang temanku dengan nafas terengah-engah karena berlari kesana kemari mencariku. Adi! Panggilnya dengan nafas tersendat-sendat. Kenapa Ron kau Memanggilku? Jawabku sedikit kebingungan. Aku disuruh Pak Amir untuk memangggilmu karena ada saudaramu datang mau menjemputmu. Pak Amir adalah guru wali kelasku. Aku semakin bingung dan takut, apakah aku melakukan kesalahan besar sampai pak Amir memanggilku. Namun kenapa ada saudaraku segala? Ucapku dalam hati. Ok Ron, aku akan kesana, makasih ya, sudah memberitahukanku. Kataku sambil bergegas pergi meninggalkan Roni dan Nur diperpustakaan. Dalam perjalanan menuju ke kantor pak Amir aku selalu berfikir macam-macam. Badanku berkeringat dan sedikit gemetar.
Setelah sekitar 5 menit berjalan aku sampai dikantor pak Amir wali kelasku. Aku mengetuk pintu, Asssalamualaikum Pak Amir, kataku dengan sedikit gemetar. Disana aku melihat Om Rano sedang berbincang dengan Pak Amir. Walaikumsalam Adi, kemarilah nak. Pak Amir menjawabku dengan gayanya yang kalem dan tenang. Kemudian Pak Amir langsung memberitahukanku kalau saudaraku menjemputku untuk segera pulang karena ada acara keluarga yang sangat penting. Aku semakin bingung gak karuan, apa yang terjadi? Sepertinya tadi waktu berangkat sekolah orang tuaku sama sekali tidak memberitahukanku ataupun kakakku kalau ada acara keluarga. Aku langsung beranjak pergi kekelas mengambil tas, dan pergi bersama Om Rano meninggalkan sekolah menuju kerumah. Namun aku semakin bingung, ini bukanlah jalan kembali kerumah melainkan ke sekolah kak Tania. Aku bertanya kepada Om Rano, Om kita juga mau menjemput kak Tania? Iya Di, jawab Om Rano seadanya. Aku tak banyak bicara maupun bertanya kepada Om Rano. Aku hanya diam mendekap punggung Om Rano di sepeda motor yang kami tumpangi.
Setelah 20 menit lamanya, kita sampai di sekolah kak Tania, Om Rano menyuruhku untuk menunggu di didekat motornya yang diparkir diparkiran sekolah kak tania. Beberapa menit aku menunggu mereka keluar dari gedung sekolah yang mewah dan besar itu. Yap! kak Tania mendapatkan beasiswa di sekolah SMA terbaik dan terfavorit di kotaku. Kemudian kami bertiga bergegas pergi dengan mengendarai dua motor berbeda, aku bersama Om Rano, sedangkan kak Tania mengendarai motornya sendiri. Memasuki perkampungan tempatku tinggal disana terlihat ramai orang yang berjalan searah dengan jalan kami. Aku semakin bingung, semakin bingung ketika mendekati rumahku karena banyak orang yang berbelok kerumahku. Namun berbeda dengan kak Tania, Dia spontan menghentikan motornya dan berlari menuju rumah dengan air mata sudah mengucur dimukanya. Aku semakin bingung tidak tahu apa-apa. Om Rano kemudian menggenggam tanganku menuju kedalam rumah. Sebelum sampai kedalam rumah aku mendengar jeritan tangis ibuku dan kak Tania. Ada apa ini, apa yang terjadi, aku buru-buru melepaskan genggaman Om Rano dan berlari menuju ke rumah.
Aku melihat seseorang dibaringkan di lantai ruang tamu di rumahku dengan ditutup dengan kain batik seluruh tubuhnya. Aku juga melihat ibu dan kakakku tak henti menangis. Sesekali ibuku tak sadarkan diri. Aku belum tahu pasti apa yang terjadi. Namun entah kenapa air mataku menetes dengan derasnya melihat semua kejadian ini. Om Rano memelukku, berbisik ayah sudah gak ada, ayah sudah meninggal, meninggalkan kita semua. Aku lemas seketika mendengar bisikan itu. Aku melepaskan pelukannya, tertunduk lesu dilantai sambil menangis. Aku mendekati ibu dan kak Tania. Aku memeluk mereka, aku ikut menangis bersama mereka. Kak Tania mendekati Tubuh ayah yang sedang terbaring, aku mengikutinya. Dia membuka kain batik itu, aku melihat wajah ayahku yang pucat, mata tertutup. Aku memanggilnya lirih, ayah ayah! kenapa kau tidur, disini banyak orang yang memperhatikan ayah. Kak Tania semakin melepaskan jeritan tangisnya, akupun tak kuasa membendung air mataku. Ibu mendekat dan memeluk kami, sayang, ayah sekarang sudah meninggalkan kita, lirih ibu dalam pelukan kami.
Aku masih terdiam sedih didekat jenasah ayah yang terbaring dilantai, aku tidak mau beranjak dari dekatnya, sesekali Om Rano mengajakku untuk berganti pakaian. Namun aku menolak, khas dengan gaya anak-anak sedang merajuk. Kak Tania juga tidak mau beranjak, dia hanya diberi kain oleh salah seorang tetangga, kain hitam sebagai kerudung untuk menutupi kepalanya. Aku tak pernah merasa sesedih ini selama hidupku. Jeritan tangisku semakin pecah ketika ayahku hendak dibungkus dengan kain putih. Aku menahan mereka tak membiarkan mereka membungkus ayahku dengan kain itu. Namun Om Rano memelukku dan menjauhkanku dari mereka yang hendak membungkus tubuh ayahku. Aku semakin marah seketika benci dengan Om Rano karena menghalangiku. Aku melihat Pak Amir bersama rombongan teman-teman sekelasku datang kerumahku. Aku juga melihat Nur yang langsung mendekatiku dan memelukku sambil terisak. Dia kenal dekat dengan ayahku, pantas saja dia juga merasa kehilangan. Dia tak berkata apa-apa hanya memelukku sambil menangis.
Beberapa orang memberikan sambutan di hari itu, namun aku sama sekali tidak mempedulikannya, aku hanya terdiam lemas di dekat peti ayahku. Ya ayahku sudah dimasukkan kedalam peti dan siap diangkat menuju ke pemakaman. Aku memanglah masih anak-anak. Namun aku tahu betul apa itu mati, siapa yang mati waktu itu dan bagaimana rasanya aku ditinggal mati oleh orang itu. Bersama ibu, kak Tania, Nur dan beberapa saudaraku. Kami duduk didekat peti ayah, sesekali aku melihat ibuku masih tak sadarkan diri. Kak Tania masih menangis bersama beberapa saudaraku yang lainnya. Aku hanya terdiam didekat Nur, aku sudah tidak bisa menangis, aku terlalu lemas untuk menangis.
Beberapa saat kemudian peti ayahku diangkat untuk dibawa menuju ke pemakaman disamping kampungku. Dekat, karena itu hanya berjalan kaki dan tidak perlu menggunakan ambulance. Sampai dipemakaman, ayahku langsung dimasukkan ke dalam liang yang sudah digali sejak pagi, aku kembali terisak tak rela ayahku dimasukkan kesana. Aku berontak, namun tak seorangpun sependapat denganku. Mereka tetap kekeh memasukkan ayahku kedalam  liang itu. Aku menangis dan menjerit, tertunduk ditanah pemakaman, khas dengan gaya anak kecil yang sedang merajuk.
Kak Tania mendekapku erat, seakan membisikkan masih ada kak Tania yang selalu jagain dede, dede jangan sedih lagi ya.

>><< 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar